LUBANG
TAMBANG = KUBURAN WARGA SAMARINDA
Artikel opini oleh
: Basir, Miya, Hadi, Mita, Dery dkk
Belakangan ini, warga Kota Samarinda
terus dibayangi dengan rasa perihatin serta geram akibat dari bertambahnya
korban jiwa yang tenggelam di kolam bekas tambang yang ada di kota Samarinda,
tercatat hingga saat ini sudah ada 13 anak yang menjadi korban jiwa dari
kolam-kolam yang banyak mengandung zat
kimia berbahaya tersebut. Jumlah itu belum ditambah dengan korban-korban
dikolam bekas tambang yang ada di kota disekitar Samarinda, Tenggarong
misalnya, tanggal 17 Desember sudah bertambah satu korban jiwa hingga sekarang
menjadi 4 korban jiwa. Dan yang tidak boleh kita abaikan juga adalah korban
dari jebolnya tanggul
penahan
air di bekas lahan tambang batubara
yang
juga terjadi pada tanggal 17 Desember, peristiwa yang terjadi di Kecamatan
Sungai Kunjang ini tak hanya menimbulkan korban jiwa tapi juga menimbulkan
kerugian materi bagi warga yang rumahnya terhantam terjangan air. Lantas ,
sampai kapankah kita akan terus mendengar berita tidak mengenakkan dari lubang
bekas galian tambang ini ?
Image source : www.rappler.com |
Kita semua tahu, tentu tidak akan
ada lubang bekas galian tambang jika proyek tambang tidak ada. Dari sinilah
sebenarnya akar permasalahan kita, mengenai Izin Usaha Tambang. Berdasarkan salah
satu forum yaitu The Asia Foundation menyatakan bahwa Gubernur Kalimantan Timur
telah mengeluarkan memorandum resmi yang mensyaratkan kabupaten – kabupaten
untuk menghentikan pemberian izin – izin pertambangan, penebangan kayu dan
perkebunan, dan memerintahkan audit izin yang sudah di terbitkan ditingkat
kabupaten dan provinsi. Tapi data yang ada dilapangan sungguh bertolak
belakang, sesuai data Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Samarinda, dari
71.800 hektare luas wilayah Samarinda, sebanyak 27.598 hektare di antaranya
telah dikuasai 63 perusahaan tambang. Jika dipersentasekan, 38,44 persen sudah
dihuni Izin Usaha Tambang (IUP). Sementara, total bukaan lahan (BL) perusahaan
sebanyak 2.589,43 ha, hanya 1.311,37 ha yang sudah direklamasi, sisanya 1.278,05
ha belum reklamasi . Itu baru dari Distamben Samarinda, belum lagi yang
dikeluarkan pemerintah pusat, jika ditotal sekitar 71 persen kawasan Samarinda
sudah dikepung tambang .
Dari pihak masyarakat sendiri terlihat kurang tegas
dalam menangani kasus ini .Selain itu banyak masyarakat yang malah mendukung
terbentuknya tambang, bukan tanpa alasan, namun dengan adanya tambang otomatis
warga sekitar mendapat lahan pekerjaan maupun uang kompensasi dari pihak
tambang tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Jika sudah begini , apa
yang dilakukan masyarakat itu sudah
berkaitan dengan masalah kesejahteraan, dimana Negara lah yang memiliki tugas
untuk mengatasi hal tersebut, sesuai dengan pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun
1945 yang berbunyi “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” .
Meskipun begitu setidaknya kita mengharapkan masyarakat juga mengerti akan
dampak dari adanya tambang tersebut, bila dengan alasan bahwa mereka bisa mendapatkan lahan pekerjaan
dari adanya proyek tambang tersebut, itu bisa disanggah dengan menilik lagi
status tanah tersebut sebelum dijadikan kawasan tambang, bukankah sebelumnya
kebanyakan merupakan lahan pertanian yang notabenenya adalah lahan pekerjaan
juga.
Seperti halnya nasi yang sudah menjadi bubur, kita
tidak dapat terus menyalahkan semua pihak, pada nyatanya pihak pemerintah sudah
menindak lanjuti tuntutan – tuntutan yang sudah dilayangkan kepada pemerintah,
salah satunya yaitu terkait lahan pasca tambang yang menjadi danau. Buktinya
salah satu perusahaan tambang yang berada di daerah separi dapat mengalih
fungsikan bekas galian tambang tersebut menjadi tambak ikan yang dapat di
kelola oleh warga sekitar sekaligus dapat menambah pendapatan ekonomi mereka,
namun sayangnya proses pengalihan lahan ini membutuhkan waktu kurang lebih 5 –
10 tahun untuk menetralkan kandungan dari zat - zat kimia di dalam air
tersebut.
Dari masalah ini , kami
memiliki beberapa saran untuk pemerintah maupun bagi bagi masyarakat. Dimana kita harus berusaha
menjadikan semua lini menjadi paham tentang karakteristik pertambangan
tersebut, dengan cara mengadakan penyuluhan, seminar ataupun sosialisasi
terhadap warga warga yang berada di permukiman tambang tersebut. Atau
dengan kembali menyadarkan masyarakat bahwa untuk tetap menghidupkan budaya
gotong royong yang sudah mulai sirna di telan masa, dengan cara melakukan reklamasi
lahan gundul, kawah dan lain-lain akibat aktivitas pertambagan secara
berbondong- bondong, seperti reboisasi dengan menanam tanaman yang cocok untuk
tumbuh dikawasan tersebut setelah adanya penimbunan oleh tanah subur yang
diproleh dari wilayah lain.
Kemudian
untuk pelaksanaan regulasi seperti UU No . 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara, PP No. 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang, maupun
Peraturan Menteri ESDM No.7 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Reklamasi dan
Pascatambang pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara dapat
dijalankan secara tegas oleh pemerintah, serta pengawasan dari kita sebagai
masyarakat yang merupakan bagian dari negara, sebab regulasi tidak akan berarti
apa-apa tanpa adanya pelaksanaan, dan tidak akan berjalan secara maksimal tanpa
adanya pengawasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar