MEMBUDAYAKAN ILMU MELALUI PENGAJARAN YANG BIJAKSANA


 




 Membudayakan ilmu dalam pendidikan yang dimulai sejak kecil adalah sangat penting, selayaknya masa kanak-kanak membutuhkan makanan yang bergizi untuk nutrisi pertumbuhan tubuh dan otaknya. Ia membutuhkan asupan ilmu pengetahuan sebagai nutrisi pertumbuhan kemampuan nalar berpikirnya karena ilmu merupakan bagian tak terpisahkan dari proses pendidikan yang perlu dilakukan dalam jangka waktu yang panjang. Ilmu dalam pendidikan disemai melalui pengajaran. Kata pengajaran seringkali diidentikkan dengan pendidikan. Untuk itu, di bagian ini akan didiskusikan dua isu penting terkait, yakni makna pengajaran dan orientasi pengajaran. Makna pengajaran meliputi definisi dan konsep terkait dengan pengajaran. Sedangkan orientasi pengajaran terkait dengan arah atau kecenderungan pengajaran itu sendiri.

Ada beragam definisi terkait pengajaran. Yang pertama, ia merupakan aktivitas akademik terkait dengan penanaman dan pengetahuan dan konsep oleh guru untuk membentuk peserta didik yang siap menghadapi tantangan pada masa yang akan datang dengan mengusahakan perubahan positif dalam tingkah laku peserta didik yang sangat penting bagi perkembangannya[1]. Dalam konsep pengajaran, pengajaran merupakan serangkaian kegiatan di luar diri peserta didik yang dirancang untuk mendukung proses pembelajaran internal[2]. Di sini, peran guru menjadi sangat vital yang biasanya bisa berbentuk dua hal yakni tradisional dan modern. Pada bentuk tradisional, peran guru berpusat pada guru itu sendiri sedangkan pada bentuk modern, peran guru berpusat pada siswa sehingga guru merupakan fasilitator pembelajaran. Kedua definisi ini memiliki keterkaitan dengan orientasi pengajaran.

Orientasi pengajaran berkaitan erat dengan transfer ilmu pengetahuan dari luar diri siswa ke dalam diri siswa. Terkait hal ini, pendidikan sejati tidak terdiri dari menjejali peserta didik dengan banyaknya pengetahuan dan dugaan yang tidak teruji semata, namun tanpa pengetahuan dan prinsip moral yang mapan, manusia tetap akan menjadi makhluk yang tidak berdaya[3]. Karena sejatinya, pengetahuan tidaklah mengindoktrinasi melainkan memerdekakan[4]. Pengetahuan tentang dunia luar berperan penting untuk kesetaraan. Pembatasan pada pengetahuan yang harus diketahui siswa dengan ekstrim akan menghilangkan kesetaraan pendidikan bagi siswa itu sendiri[5]. Tindakan pengajaran yang menimbulkan tindakan belajar pada diri peserta didik membentuk intuisi dan imajinasi mereka melalui titik acuan bersama yang menghubungkan pribadi, budaya, dan ideologi[6]. Hal ini bermanfaat bagi mereka untuk obrolan ringan, opini, dan impian mereka. Hanya orang yang berpengetahuanlah yang dapat menghargai betapa banyak yang tidak mereka ketahui[7].

Proses belajar menjadi sangat bermakna ketika ia mampu melibatkan proses berpikir yang sangat terkait dengan adanya rasa penasaran dari peserta didik. Untuk itu hendaknya guru mempertimbangkan cara terbaik untuk mendorong siswanya untuk berpikir dan mengoptimalkan kesempatan yang benar-benar digunakan siswa untuk mendapatkan kesibukan yang menyenangkan yang berasal dari proses berpikir yang berhasil. Hal ini dikarenakan sifat dasar peserta didik yang biasanya memiliki rasa ingin tahu, namun belum menjadi pemikir yang baik karena ada sesuatu yang belum pas dengan kondisi kognitifnya yang akan membuatnya menghindari kegiatan berpikir[8]. Cara terbaik untuk mendorong pembelajaran permanen adalah dengan mendorong penggunaan keterampilan berpikir tingkat tinggi seperti interpretasi dan penerapan bukan hanya akumulasi data dan pengetahuan[9]. Selain itu, beberapa cara yang direkomendasikan untuk menjaga minat peserta didik dalam belajar pada awal pembelajaran melalui beberapa pintu masuk pembelajaran yakni melalui narasi, logis-kuantitatif, titik dasar, pendekatan estetik, dan pendekatan langsung[10]. Hal ini ditujukan untuk mewadahi kecenderungan belajar peserta didik yang dominan. Guru yang terampil ialah yang dapat membuka sejumlah jendela berbeda pada konsep yang sama[11].

Selain berpikir, kemampuan dasar yang harus dikembangkan dalam diri peserta didik selama pengajaran adalah otomatisitas[12]. Otomatisitas ini terkait dengan kemampuan mengidentifikasi suatu fakta yang disajikan dengan pengalaman yang dimiliki dengan cepat dalam proses pengajaran. Salah satu contohnya adalah kemampuan mengenali kata-kata yang terkait dengan kemampuan literasi. Investasi besar diperlukan untuk menyediakan praktik pengajaran otomatisitas ini salah satunya dengan membaca sesuatu yang sama berulang-ulang[13]. Asumsinya ialah bahwa siswa mengembangkan otomatisitas melalui pengalaman berulang dalam kehidupan mereka yang bisa dimulai dari kebiasaan-kebiasaan mereka.

Sebaik apapun suatu pengajaran, peserta didik yang paling sukses tetaplah mereka yang bertanggung jawab atas pembelajaran mereka sendiri[14]. Untuk itu mengajarkan bagaimana melakukan sesuatu dinilai lebih penting daripada mengajarkan serangkaian fakta kepada peserta didik. Hal ini sangat berkaitan dengan banking concept yang dicetuskan oleh Freire[15] yang cenderung memandang peserta didik sebagai suatu objek pendidikan yang berperan pasif menerima apa pun yang disampaikan oleh guru. Untuk itu, guru atau pendidik diharapkan untuk senantiasa meningkatkan kapasitas dirinya dengan menjadi pembelajar sepanjang hayat sehingga mampu menguasai hal-hal yang diperlukan dalam proses pendidikan dan pengajaran untuk meningkatkan kapasitas peserta didik dan perubahan tingkah laku ke arah yang lebih baik.

Bontang, 21 November 2021

Tentang Penulis:

Muhammad Basir merupakan guru Fisika di SMA IT DHBS Bontang dan kandidat master di UPI Bandung. Pendidikan dan pengajaran merupakan minatnya. Ia mengajarkan pemahaman dan pemikirannya terkait ilmu alam dan fisika, serta membantu memecahkan masalah pembelajaran yang dihadapi siswa dengan mengembangkan metode pembelajaran yang lebih unik, menarik, dan menyenangkan.

Penjelasan video :  Link Youtube



[1] Surbhi, S. (2019, September 30). Difference Between Teaching and Training. Retrieved from Key Differences: https://keydifferences.com/difference-between-teaching-and-training.html

[2] Sequeira, A. H. (2012). Introduction to Concepts of Teaching and Learning. SSRN September 21, https://ssrn.com/abstract=2150166 or https://dx.doi.org/10.2139/ssrn.2150166.

[3] Robinson, M. (2013). Trivium 21c: Preparing Young People for the Future with Lessons from the Past. Carmarthen: Independent Thinking Press.

[4] Christodoulou, D. (2014). Seven Myths about Education. New York: Routledge.

[5] Ibid.

[6] Poundstone, W. (2016). Head in the Cloud: Why Knowing Things Still Matters When Facts Are So Easy to Look Up. New York: Hachette Book Group, Inc.

[7] Ibid.

[8] Willingham, D. T. (2009). Why Don't Students Like School? San Fransisco: Jossey-Bass A Wiley Imprint.

[9] Hudson, D. (2009). Good Teachers, Good Schools: How to Create A Successful School. New York: Routledge.

[10] Gardner, H. (2011). The Unschooled Mind: How Children Think and How Schools Teach. New York: Basic Books.

[11] Ibid.

[12] Hattie, J., & Yates, G. C. (2014). Visible Learning and the Science of How We Learn. New York: Routledge.

[13] Ibid.

[14] Brown, P. C., Roediger III, H. L., & McDaniel, M. A. (2014). Make It Stick: The Science of Successful Learning. Cambridge: The Belknap Press of Harvard University Press.

[15] Freire, P. (1993). Pedagogy of the Oppressed. New York: The Continuum International Publishing Group Inc.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar